Ini Dia! Obat Diabetes Terobosan Terbaru: Peneliti Kembangkan “Insulin ‘Pintar” Untuk Kendalikan Diabetes
Pada tahun 2013, Indonesia memiliki sekitar 8,5 juta penderita Diabetes yang merupakan jumlah ke-empat terbanyak di Asia dan nomor-7 di dunia. Dan pada tahun 2020, diperkirakan Indonesia akan memiliki 12 juta penderita Diabetes, karena yang mulai terkena diabetes semakin muda.
Diabetes Melitus atau disingkat DM yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit “Kencing Manis” adalah kelainan metabolik yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma atau yang artinya gejala, yaitu berupa hiperglikemia (hyperglycemia, yaitu gula darah tinggi, adalah suatu kondisi di mana jumlah yang berlebihan glukosa beredar dalam plasma darah) yang kronis, dan juga gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, sebagai akibat dari:
- Defisiensi sekresi hormon insulin, aktivitas insulin, atau keduanya.
- Defisiensi transporter dan glukosa, atau keduanya.
Tipe-Tipe Diabetes
1. Diabetes Melitus Tipe 1 (IDDM)
Diabetes Melitus Tipe 1, atau diabetes anak-anak (childhood-onset diabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya ‘sel beta’ penghasil insulin pada “pulau-pulau Langerhans” di pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Sampai saat ini IDDM tidak dapat dicegah dan tidak dapat disembuhkan, bahkan dengan diet maupun olah raga.
Kebanyakan penderita Diabetes Melitus Tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada Diabetes Melitus Tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Saat ini, Diabetes Melitus Tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah. Pengobatan dasar Diabetes Melitus Tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 (NIDDM)
Diabetes Melitus Tipe 2 (adult-onset diabetes, obesity-related diabetes, non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe diabetes melitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10 dengan kofaktor hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap insulin serta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati.
Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom-19yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokines itu merusak toleransi glukosa.
Obesitas yang ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia diagnosis berkaitan dengan Diabetes Melitus Tipe 2. Faktor lain meliputi sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat dan memulai untuk memengaruhi remaja dan anak-anak. Diabetes Melitus Tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes Melitus Tipe 2 biasanya, pada awalnya diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan.
3. Diabetes Melitus Tipe 3 (GDM)
Atau sering disebut Gestasional Diabetes Melitus /GDM (diabetes gestational, Diabetes Type 1 insulin-resistant, double diabetes, Diabetes Type 2 yang telah berkembang membutuhkan insulin yang disuntikkan, diabetes autoimun laten dewasa) adalah Diabetes Melitus yang terjadi hanya selama kehamilan dan pulih setelah melahirkan, dengan keterlibatan interleukin-6 dan protein reaktif C pada lintasan patogenesisnya.
GDM mungkin dapat merusak kesehatan janin atau ibu, dan sekitar 20–50% dari wanita penderita GDM bertahan hidup.
Diabetes melitus pada kehamilan terjadi di sekitar 2–5% dari semua kehamilan. GDM bersifat temporer dan dapat meningkat maupun menghilang setelah melahirkan. GDM dapat disembuhkan, namun memerlukan pengawasan medis yang cermat selama masa kehamilan.
Meskipun GDM bersifat sementara, bila tidak ditangani dengan baik dapat membahayakan kesehatan janin maupun sang ibu. Risiko yang dapat dialami oleh bayi meliputi makrosomia (berat bayi yang tinggi/diatas normal), penyakit jantung bawaan dan kelainan sistem saraf pusat, dan cacat otot rangka. Peningkatan hormon insulin janin dapat menghambat produksi surfaktan janin dan mengakibatkan sindrom gangguan pernapasan. Operasi sesar dapat akan dilakukan bila ada tanda bahwa janin dalam bahaya atau peningkatan risiko luka yang berhubungan dengan makrosomia, seperti distosia bahu.
Ilmuwan Mengembangkan “Insulin Pintar” Untuk Kendalikan Diabetes
Para peneliti telah mengembangkan “insulin pintar” yang secara otomatis dapat mengatur jumlah gula darah dalam tubuh orang-orang yang mengidap Diabetes Tipe-1. Hal ini akan menjadi terobosan bagi para pasien, yang setiap hari bergulat untuk mempertahankan tingkat gula darah yang sehat.
Diabetes Tipe-1 terjadi ketika sistem imunitas tubuh menyerang dan menghancurkan sel-sel pankreatik di pankreas yang memproduksi insulin. Insulin adalah hormon yang membantu memetabolisa gula atau glukosa dari makanan, yang digunakan sel-sel tubuh untuk bahan bakar.
Orang-orang dengan Diabetes Tipe-1 harus sering memeriksa tingkat glukosa mereka dan menyuntikkan insulin, terkadang beberapa kali sehari. Namun rutinitas itu dirasa tidak tepat.
Insulin yang terlalu sedikit akan menaikkan tingkat gula darah yang seiring waktu dapat mengarah pada komplikasi-komplikasi serius, termasuk sakit jantung, gagal ginjal dan kebutaan. Namun jika penderita Diabetes Tipe-1 mendapatkan terlalu banyak insulin, maka mereka berisiko koma yang membahayakan.
“Idenya adalah untuk mendapatkan sesuatu yang sama sekali otonom. Jadi jika pasien tidak usah memeriksa tingkat gula darah mereka, jika mereka dapat menyuntikkan insulin di pagi hari dan tahu bahwa mereka mendapat cukup pasokan untuk hari itu, hal itu merupakan skenario terbaik. Tapi saya kira disitulah peran generasi insulin respon glukosa “pintar”,” ujar Matthew Webber, insinyur biomedis di Massachusetts Institute of Technology yang membantu mengembangkan insulin “pintar” yang mengaktivasi diri ketika tingkat gula darah meningkat.
Suntikan tunggal agen yang bekerja lama mengikat molekul-molekul glukosa yang beredar dalam darah, secara otomatis membawa tingkat gula darah turun ketika mereka melonjak.
Webber mengatakan para peneliti telah melakukan tes-tes menggunakan hewan laboratorium. Tes itu menunjukkan bahwa “insulin pintar” bekerja selama sedikitnya 14 jam, berulang, dan otomatis bekerja menurunkan tingkat gula darah dalam tikus.
Penelitian ini telah diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences. Para peneliti berharap selanjutnya akan melakukan uji coba pada manusia untuk insulin respon-glukosa pertama.
Efek Dari Penyakit Diabetes Militus
Berbagai penyakit, sindrom dan simtoma (gejala) yang dapat terpicu oleh diabetes melitus, antara lain:
• Demensia Alzheimer
Alzheimer bukan penyakit dan bukanlah sindrom, namun adalah kondisi neurologis yang ditandai dengan mengerut atau mengecilnya otak yang menyebabkan penurunan daya ingat dan penilaian secara bertahapyang biasanya disertai dengan perubahan kepribadian dan kemampuan untuk mengekspresikan diri.
Alzheimer juga dikatakan bersinonim dengan orang tua dan biasanya bermula pada usia tua sekitar 65 tahun, namun sejarah membuktikan bahwa penyakit pertama yang dikenal pasti menghidap penyakit ini ialah wanita dalam usia awal 50-an. Di Indonesia, walau artinya masih luas, biasa disebut dengan “pikun” yaitu penurunan fungsional yang disebabkan oleh kelainan yang terjadi pada otak.
Pikun merupakan gejala umum demensia, walaupun pikun itu sendiri belum berarti indikasi terjadinya demensia. Orang-orang yang menderita demensia sering tidak dapat berpikir dengan baik dan berakibat tidak dapat beraktivitas dengan baik. Oleh sebab itu mereka lambat laun kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan dan perlahan menjadi emosional, sering hal tersebut menjadi tidak terkendali.
• Ataxia-telangiectasia (AT)
Adalah turunnya kemampuan koordinasi atas gerakan otot. Ataksia bukanlah penyakit, dan juga bukan merupakan sindrom. Ataksia adalah simtoma (gejala) berupa pudarnya kemampuan koordinasi atas gerakan otot.
• Sindrom Down (down syndrome)
Adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom 21 pada berkas q22 gen SLC5A3. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.
Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid maka sering juga dikenal dengan mongolisme.
• Penyakit Huntington
Penyakit yang menyerang saraf dan disebabkan oleh faktor genetika, sehingga dapat diwariskan dari orang tua kepada anaknya.
Penyakit ini menjangkiti sekita 1 dari 20.000 jiwa di Eropa Barat dan 1 dari 30.000 di Amerika Serikat.
Gen penyakit ini bersifat dominan sehingga anak-anak dari orang tua yang menderita penyakit ini berpeluang besar menderita penyakit “Huntington” yakni 50%.
Gejala penyakit ini muncul pada setiap usia, namun rata-rata pada usia 35-44. Hingga saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini namun hanya berupa mengurangi gejala dan mengendalikan perilaku penderita.
• Kelainan mitokondria
Yaitu kelainan pada organel tempat berlangsungnya fungsi respirasi sel makhluk hidup selain fungsi selular lain, seperti metabolisme asam lemak, biosintesis pirimidina, homeostasis kalsium, transduksi sinyal selular dan penghasil energi berupa adenosina trifosfat pada lintasan katabolisme.
Peran utama mitokondria adalah sebagai pabrik energi sel yang menghasilkan energi dalam bentuk ATP (Adenosina Trifosfat).
• Myotonic dystrophy (Distrofi miotonis)
Distrofi miotonik (dystrophia myotonica, myotonia atrophica) adalah penyakit multisistemik turunan yang kronis, lambat dalam perkembangan dan sangat bervariasi. Ini adalah penyakit autosomal yang dominan. Hal ini dicirikan oleh otot yang mengecil (muscular dystrophy), katarak, defek konduksi jantung, perubahan endokrin, dan myotonia.
Ada dua jenis utama dari distrofi myotonic, yaitu Myotonic dystrophy type 1 juga disebut penyakit Steinert, memiliki bentuk bawaan dan terjadinya bentuk yang lebih dewasa.
Myotonic dystrophy type 2, juga disebut proksimal miopati myotonic (proximal myotonic myopathy/PROMM) yang jarang ditemui dibanding yang tipe-1, dan umumnya bermanifestasi dengan tanda dan gejala yang lebih ringan. Distrofi miotonik dapat terjadi pada pasien dari segala usia. Kedua bentuk penyakit menampilkan pola dominan autosomal dari turunannyadan kedua tipe itu memiliki bentuk onset dewasa (Adult-Onset forms).
• Penyakit Parkinson
Adalah penyakit degeneratif syaraf yang pertama ditemukan pada tahun 1817 dengan gejala yang paling sering dijumpai adalah adanya tremor (getaran) pada saat beristirahat di satu sisi badan, kemudian kesulitan untuk memulai pergerakan dan kekakuan otot.
Parkinson menyerang sekitar 1 di antara 250 orang yang berusia di atas 40 tahun dan sekitar 1 dari 100 orang yang berusia di atas 65 tahun.
Parkinson Primer disebabkan berkurangnya dopamin, karena bertambahnya usia, sedangkan Parkinson Sekunder disebabkan terhambatnya pengaliran dopamin yang bisa saja disebabkan oleh tumor, stroke, gangguan pembuluh darah dan trauma.
• Sindrom Prader-Willi (PWS)
Ada banyak tanda-tanda dan gejala Prader-Willi Syndrome. Berbagai gejala dapat berkisar dari otot yang buruk selama masa kanak-kanak untuk masalah perilaku pada anak usia dini.
Beberapa gejala yang biasanya ditemukan pada bayi, selain otot yang buruk, juga akan menjadi kurangnya koordinasi mata, beberapa dilahirkan dengan mata berbentuk almond dan karena otot kecil saat bayi dapat gagal untuk memiliki refleks menghisap yang kuat. Teriakan mereka lemah, serta kesulitan untuk bangun. Tanda lain dari penyakit ini adalah bibir atas yang tipis.
• Werner Syndrome (WS)
Sindrom Werner (WS), juga dikenal sebagai “progeria dewasa”, adalah langka, autosomal resesif, sindrom progeroid (termasuk golongan genetik disorder) yang ditandai dengan munculnya penuaan dini.
Sindrom ini memiliki tingkat kejadian global kurang dari 1 dalam 100.000 kelahiran yang dapat hidup (meskipun kejadian di Jepang dan Sardinia lebih tinggi, yang masing-masing mempengaruhi 1 di 20.000-40.000 dan 1 di 50.000), dan telah ada 1.300 kasus yang dilaporkan dalam literatur pada tahun 2006.
Individu yang terkena biasanya tumbuh dan berkembang secara normal sampai pubertas, usia rata-rata diagnosis adalah 24 tahun. Orang termuda didiagnosis berusia enam tahun. Nilai tengah usia kematian masing-masing adalah 47-48 dan 54 tahun, penyebab utama kematian adalah penyakit jantung atau kanker.
• Wolfram Syndrome (WS)
Sindrom Wolfram, juga disebut DIDMOAD (Diabetes Insipidus, Diabetes Mellitus, Optic Atrophy and Deafness), adalah kelainan genetik langka yang disebabkan oleh diabetes mellitus, yang dapat menyebabkan atrofi optik (saraf optik berisi akson) dan ketulian, serta berbagai kemungkinan gangguan lain. Penyakit ini mempengaruhi otak (terutama batang otak) dan sistem saraf.
Sindrom Wolfram awalnya diduga disebabkan oleh disfungsi mitokondria karena gejala dan beberapa laporan tentang mutasi mitokondria.
Namun, kini telah ditetapkan bahwa sindrom Wolfram disebabkan oleh disfungsi retikulum endoplasma (endoplasmic reticulum dysfunction). Ada dua bentuk genetik WS yaitu: Wolfram Syndrome 1 (WFS1) yaitu gen wolframin yang memberikan instruksi untuk membuat protein wolframin., dan Wolfram Syndrome 2 (WFS2) yaitu disfungsi gen CISD2.
• Leukoaraiosis (White matter changes/WMC)
WCM adalah perubahan pada bagian ganglia basal dari otak besar. Dengan pemeriksaan radiologi, prognosis WMC ditemukan pada 44% penderita stroke atau transient ischemic attack, 50% pada penderita demensia vaskular.
WMC juga sering terjadi pada penderita infark lakunar, perdarahan dalam intraserebral (deep intracerebral hemorrhages), arteriopati otak autosomal yang dominan (cerebral autosomal dominant arteriopathy)dengan infark subkortikal (subcortical infarcts) danangiopati amiloid serebral (cerebral amyloid angiopathy).
WMC dapat disebabkan oleh hipoperfusi atau iskemia pada otak, khususnya pada area sub-cortical dari ganglia basal. Simtoma (gejala) tekanan darah tinggi merupakan salah satu faktor risiko yang memperburuk kondisi WML, terutama karena tekanan sistolik yang berlebihan. Pada percobaan dengan menggunakan hewan, terjadi kerusakan mielin pada neuron ganglia basal saat terjadi hipoperfusi WMC.
• Hipotiroidisme
Adalah istilah yang mengacu pada simtoma (gejala) menurunnya sintesis dan sekresi hormon tiroid dari kelenjar tiroid.
Pada umumnya, penyebab hipotiroidisme adalah kurangnya asupan gizi berupa iodina atau yodium.
Hipotiroidisme transien, dapat terjadi setelah konsumsi iodina dalam jumlah banyak yang menginduksi kelainan enzimatik ringan yang menyebabkan terhambatnya sintesis hormon pada kelenjar tiroid, yang dikenal sebagai efek Wolff-Chaicoff.
Radang pada kelenjar tiroid juga dapat menyebabkan hipotiroidisme, seperti pada penyakit Hashimoto tiroiditis. Hipotiroidisme dapat dengan mudah diobati dengan obat oral.
• Hipertiroidisme
Adalah istilah yang digunakan untuk mengacu pada simtoma (gejala) hiperaktif dari jaringan kelenjar tiroid yang menyebabkan sintesis dan sekresi berlebih terhadap hormon tiroid.
Pada jantung, penderita hipertiroidisme mengalami peningkatan laju istirahat denyut, peningkatan kontraksi bilik ventrikular kiri, yang menyebabkan penurunan tekanan diastolik dan peningkatan tekanan sistolik. Oleh karena terjadi penurunan serum kolesterol, penderita menjadi lebih rentan terhadap gangguan ritme jantung, terutama disebabkan oleh fibrilasi atrial.
Tahap lanjutan hipertiroidisme akan menyebabkan tirotoksikosis, dan modulasi sitokina osteotrofik, seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF-α.
Beberapa penyebab dari hipertiroidisme, antara lain, asupan iodina atau hormon tiroid yang berlebih, rendahnya plasma Selenium, penyakit Graves, hiperplasia pada kelenjar tiroid atau hipofisis, radang tiroid, tumor pada testis atau ovarium. Beberapa komplikasi yang disebabkan hipertiroidisme antara lain Fibrilasi Atrial (AF).
• Hipogonadisme
Adalah istilah medis untuk merujuk simtoma (gejala) penurunan aktivitas kelenjar gonad. Kelenjar gonad, ovarium atau testis, merupakan kelenjar yang memproduksi hormon reproduksi beserta sel gamet, ovum atau spermatozoid. Komplikasi hipogonadisme yang tidak diobati termasuk hilangnya libido, kegagalan untuk mencapai kekuatan fisik, implikasi sosial, dan osteoporosis. Hipogonadisme terbagi dalam dua kategori, yaitu hipogonadisme pada pria dan hipogonadisme pada wanita.
Pria dan wanita dengan hipogonadisme dapat menjalani hidup normal dengan terapi sulih hormon. Selain efek diatas, akibat Diabetes Melitus (DM) juga memiliki efek terhadap sindrom dan simtoma atau gejala lainnya.
Kopi Bisa Cegah Diabetes dan Obesitas
Selama ini kopi adalah salah satu jenis minuman yang masih menimbulkan banyak kontroversi di bidang kesehatan. Salah satu penyebabnya adalah kandungan kafein di dalamnya. Kafein dalam kopi diketahui bisa memberikan tambahan energi secara instan dan membuat orang lebih mudah fokus.
Bahkan melalui penelitian, ada kaitannya antara kopi dan penyembuhan kanker. (baca: Misteri Hubungan Kopi Sebagai Penyembuh Kanker). Namun perlu diingat pula bahwa kafein ini juga sebaiknya tak dikonsumsi secara berlebihan.
Sementara itu, baru-baru ini peneliti mengungkap manfaat lain di balik kopi. Penelitian menunjukkan bahwa minum tiga cangkir teh atau kopi sehari bisa menurunkan risiko diabetes. Selain itu, orang yang rajin minum kopi juga memiliki BMI dan lingkar pinggang yang lebih kecil.
Tak hanya itu, orang yang rajin minum kopi juga diketahui memiliki tekanan darah yang lebih rendah. Meski begitu, peneliti tak mengetahui penyebab dan alasan dibalik kaitan antara kopi dan tekanan darah serta obesitas dan diabetes, seperti dilansir oleh Daily Mail (08/12/2014) lalu.
Hal ini mirip dengan hubungan antara kopi dan kanker. Dari penelitian hasil survey, penikmat kopi beresiko lebih rendah terkena kanker, namun peneliti belum menemukan penyebab dan dibalik kaitan antara kopi sebagai pencegah kanker.
Sedangkan pada hasil penelitian antara peminum kopi dan diabetes serta obesitas ini didapatkan peneliti setelah mengamati 9.000 orang. Peneliti dari University College London menemukan bahwa peminum kopi dan teh memiliki risiko terkena sindrom metabolisme 25 persen lebih rendah. Kemampuan kopi untuk menjaga berat badan juga dikaitkan peneliti dengan rendahnya risiko diabetes, penyakit jantung, dan stroke.
Peneliti berpendapat bahwa kemungkinan hal ini disebabkan oleh zat polyphenol dalam kopi yang bisa mencegah peradangan. Peradangan adalah salah satu faktor risiko dari penyakit obesitas, diabetes, jantung, dan lainnya.
Diabetes di Asia meningkat tajam
Hasil riset terbaru menyebutkan diabetes akan menjadi masalah global dengan lebih dari 60% kasus kemungkinan terjadi di Asia. Hasil studi yang diterbitkan jurnal kesehatan ‘Journal of American Medicine Association’ menunjukkan mereka yang menderita diabetes di Asia berusia lebih muda dibandingkan dengan para penderita di Barat.
Para penderita di Asia juga memiliki kemungkinan lebih rendah mengalami obesitas. Riset itu juga menyimpulkan bahwa pada 2025 angka penderita meningkat menjadi 380 juta dari 240 juta pada 2007. Peningkatan terjadi terutama di negara berpendapatan perkapita rendah dan menengah.
Penyakit ini memang termasuk mahal pengobatannya dan bisa memukul perekonomian Asia. Riset ini juga menyebutkan tingginya angka penyakit diabetes di Asia disebabkan karena faktor dan genetik dan perbedaan budaya, mulai dari kebiasaan merokok hingga angka urbanisasi.
Masalah berat badan
Sementara di Barat, diabetes tipe 2 sering muncul sebagai konsekwensi dari kebiasaan diet, faktor usia dan obesitas. Berbeda dengan di Asia yang menurut para peneliti kebanyakan menyerang pada usia muda dan kurangnya usaha mengurangi berat badan.
Mengutip gambaran yang dikeluarkan oleh Federasi Diabetes Internasional, para peneliti mengatakan penduduk Jepang hingga Pakistan umumnya memiliki rata-rata lemak yang rendah. Namun mereka bisa memiliki prevalensi yang sama bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan Barat.
Masalahnya adalah, meskipun angka obesitas di Asia rendah, mengubah pola makanan dan gaya hidup yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi justru menjadi penyebab utama meningkatnya penyakit diabetes. Trasisi ini di Eropa berlangsung 200 tahun sementara di Asia hanya dalam 50 tahun, menurut para ahli.
Perbedaan usia terkena diabetes juga tajam. Umumnya, di Barat penyakit ini diderita oleh kaum lansia antara 60 hingga 79 tahun. Di Asia terjadi di usia antara 20 hingga 59 tahun.
Riset ini menduga hal ini terjadi akibat dari rendahnya angka kelahiran dan kelebihan gizi pada usia lebih lanjut, antara lain karena wanita Asia mempunyai kemungkinan 2-3 kali lebih besar terkena diabetes ketika kehamilan ketimbang wanita Barat.
Studi itu mengatakan angka penderita diabetes di India akan meningkat dari 40 juta hingga 70 juta; sementara China 39 juta menjadi 59 juta; dan Bangladesh 3,8 juta hingga 7,4 juta. Sementara itu, angka peningkatan untuk Indonesia, Filipina, Malaysia, Vietnam dan negara lain juga akan meningkat secara dramatis.
(sumber: Indonesian VOA/Wikipedia/Wikimedia/merdeka/kompas/ Daily Mail/ berbagai sumber/Google search: smart insulin).
Pustaka:– pnas.org, Proceedings of the National Academy of Sciences.
No comments:
Post a Comment