Indonesia Harus Waspadai Ancaman Teroris Biologi (Bioterorisme)
Ancaman Bio-terorisme atau Bioterorism adalah nyata. Bioterorism atau bio-agents adalah terorisme yang melibatkan pelepasan atau penyebaran “agen biologis” secara sengaja. Agen yang dimaksud disini adalah bakteri, virus atau racun alami, dan juga dalam bentuk yang telah dimodifikasi oleh manusia (human-modified form).
Metode ini biasanya digunakan dalam peperangan (biological warfare), namun meskipun kasus bioterorisme masih jarang terjadi, Indonesia harus meningkatkan kesiapan dan kewaspadaan untuk menghadapinya!
“Semua negara menghadapi ancaman yang sama tanpa terkecuali. Indonesia juga. Tidak ada hanya satu negara yang lebih terancam daripada yang lain,” ungkap Ronald M Atlas, ahli mikrobiologi, senjata biologi, dan bioterorisme dari University of Louisvile di Amerika Serikat dalam seminar bertajuk “Infectious Disease and Security: Confronting the Dual Use Dilemma” yang diadakan Lembaga Eijkman, Jakarta, Jumat (2/10/2015) silam.
Atlas mengungkapkan, kasus bioterorisme yang pernah terjadi antara lain adalah kontaminasi bakteri Salmonella pada salad di 10 restoran di Amerika Serikat pada tahun 1984.
Lebih dari 750 orang di Oregon sakit. Sepuluh tahun kemudian, terungkap bahwa kontaminasi itu merupakan aksi bioterorisme yang dilatarbelakangi kepentingan politik. Salmonella sengaja disebar sebelum pemilu sehingga warga tak bisa memilih karena sakit.
Kasus kedua terjadi di Jepang. Seorang ilmuwan asal Jepang menebar bakteri anthrax. Kasus itu kemudian terungkap sebagai bentuk bioterorisme. Untungnya, bakteri anthrax yang disebar adalah “versi jinak” sehingga tak mengakibatkan epidemi.
Namun, di Amerika Serikat, aksi bioterorisme dengan bakteri anthrax yang disebarkan dengan amplop pada tahun 2001 lalu berhasil membunuh 5 orang serta membuat lebih dari 20 orang terinfeksi. Akibat aksi tersebut, Pemerintah Amerika Serikat menanggung biaya besar karena harus memberikan dosis profilaksis pada puluhan ribu orang.
Wakil Direktur Lembaga Eijkman, Herawati Sudoyo, mengatakan bahwa aksi bioterorisme sejauh ini memang sangat jarang. Walau demikian, Indonesia tetap harus mempersiapkan diri.
“Kita harus lakukan persiapan sebelum itu terjadi, bukan responsif sesudah ada kasus. Penegak hukum harus masuk dalam biosecurity (ketahanan biologi),” katanya.
Herawati menilai, sejauh ini Indonesia belum siap untuk menghadapi ancaman bioterorisme. Itu tecermin dari penanganan kasus teror di Kedutaan Besar Perancis pada tahun 2012. Kala itu, kedutaan mendapat kiriman amplop berisi bubuk putih dan bertuliskan “Anthrax”.
“Yang masuk waktu itu Gegana. Mereka biasa mengamankan TKP, sudah jago banget. Namun, bagaimana kalau ancamannya biologi. Mereka masuk dengan segala atribut yang fancy, tetapi tidak protected,” ungkap Herawati. Untunglah, ancaman anthrax itu hoax. Jika benar, mungkin akibatnya bisa fatal.
Herawati mengingatkan, senjata biologi bisa dikembangkan dengan lebih mudah dan murah. Jadi, lebih banyak orang bisa mengembangkannya dan menyebarkannya untuk kepentingan masing-masing. “Tidak seperti nuklir yang memang mahal. Untuk biological weapon, kit itu murah,” katanya.
Sejak tahun 1972, di dunia sebenarnya sudah ada kesepakatan bernama Biological Weapon Convention(BWC). Dalam konvensi itu, semua negara dilarang untuk mengembangkan senjata biologi.
Indonesia pun meratifikasinya pada tahun 1992. Walau demikian, ada potensi pada masa depan bahwa konvensi itu akan dilanggar. Hal ini terbukti dari sejumlah kasus bioterorisme. Jadi, kewaspadaan tetap harus ditingkatkan.
Menyusul kasus anthrax pada tahun 2001, Atlas mengatakan bahwa Pemerintah Amerika Serikat dan ilmuwan mengembangkan prosedur keamanan.
,Prosedur keamanan itu seperti mengawasi akses pada kultur mikroba mematikan, mengawasi pembelian bahan kimia yang bisa dipakai sebagai bahan untuk membantu mengembangkan mikroba mematikan, serta menyiapkan stok vaksin untuk mengatasi serangan mikroba tertentu yang bisa disebarkan ke seluruh negeri dalam 24 jam.
Herawati mengungkapkan, Pemerintah Indonesia bisa mulai meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman bioterorisme di kalangan militer, dan meningkatkan kerja sama antara pihak militer dan pemangku kepentingan dalam bidang kesehatan masyarakat
Ada Tiga Kategori Bio-Agents
Saat ini dibawah hukum Amerika Serikat, bio-agen yang telah dinyatakan oleh Departemen Kesehatan (U.S. Department of Health) dan Layanan Manusia atau Departemen Pertanian AS (Human Services or the U.S. Department of Agriculture) memiliki “potensi menimbulkan ancaman berat terhadap kesehatan masyarakat dan keselamatan”, secara resmi telah didefinisikan sebagai “agen pilihan” (select agents).
CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dari AS mengkategorikan agen ini A, B atau C, dan mengelola Program Agen Pilihan (Select Agent Program), dengan mengatur laboratorium yang mungkin memiliki, menggunakan, atau mentransfer agen pilih di Amerika Serikat.
Seperti upaya AS untuk mengkategorikan narkoba berbahaya, virus desainer belum dikategorikan dan flu burung H5N1 telah terbukti dapat mencapai kematian yang tinggi berkat komunikasi antar manusia di laboratorium.
1. Kategori A
Agen prioritas tinggi ini menimbulkan risiko bagikeamanan nasional, dapat dengan mudah ditularkan dan disebarluaskan, mengakibatkan kematian yang tinggi, memiliki potensi dampak kesehatan masyarakat yang luas, dapat menyebabkan kepanikan publik, atau memerlukan tindakan khusus untuk kesiapan kesehatan masyarakat. Kategori A ini termasuk:
- Tularemia or “rabbit fever” (Tularemia atau “demam kelinci”)
- Anthrax
- Smallpox (cacar)
- Botulinum toxin (racun Botulinum)
- Bubonic plague (penyakit pes)
- Viral hemorrhagic fevers (Demam virus hemorrhagic)
2. Kategori B
Agen kategori B yang cukup mudah untuk disebarkan dan memiliki tingkat kematian rendah. Yaitu:
- Brucellosis (Brucella species)
- Toxin Epsilon dari Clostridium perfringens
- Food safety threats (ancaman keamanan pangan) misalnya, spesies Salmonella, E coli O157: H7, Shigella, Staphylococcus aureus
- Glanders / Burkholderia mallei (penyakit ingusan)
- Melioidosis / Burkholderia pseudomallei
- Psittacosis / Chlamydia psittaci
- Q fever / Coxiella burnetii (Demam Q)
- Ricin, toxin dari Ricinus communis (castor beans)
- Toksin Abrin dari Abrus precatorius / Rosary peas(Racun Abrin dari saga rambat / kacan polong Rosary)
- Staphylococcal enterotoxin B
- Typhus (Rickettsia prowazekii)
- Viral encephalitis / alphaviruses, misal: Venezuelan equine encephalitis (ensefalitis kudaVenezuela), eastern equine encephalitis(ensefalitis kuda timur), western equine encephalitis (ensefalitis kuda barat)
- Water supply threats (Ancaman pasokan air),misalnya Vibrio cholerae, Cryptosporidium parvum)
3. Kategori C
Agen patogen Kategori C adalah patogen yang direkayasa dan keberadaannya sengaja untuk penyebaran secara massal (mass dissemination) dan bahan patogen ini mudah produksi juga mudah penyebarannya serta memiliki tingkat kematian yang tinggi, atau memiliki kemampuan untuk menyebabkandampak kesehatan utama. Diantaranya adalah:
- Virus Nipah
- Hantavirus
- SARS
- H1N1, varian dari influenza (flu)
- HIV / AIDS
Daftar Bioterrorism Agents/Diseases (Alpabetical) versi CDC
Sedangkan versi CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dari Amerika Serikat, mengeluarkan Emergency Preparedness and Response berikut daftar Bioterrorism Agents/Diseases berdasarkan alphabetical adalah sebagai berikut:
A
B
- Bacillus anthracis (anthrax)
- Botulism (Clostridium botulinum toxin)
- Brucella species (brucellosis)
- Brucellosis (Brucella species)
- Burkholderia mallei (glanders)
- Burkholderia pseudomallei (melioidosis)
C
- Chlamydia psittaci (psittacosis)
- Cholera (Vibrio cholerae)
- Clostridium botulinum toxin (botulism)
- Clostridium perfringens (Epsilon toxin)
- Coxiella burnetii (Q fever)
E
- Ebola virus hemorrhagic fever
- E. coli O157:H7 (Escherichia coli)
- Emerging infectious diseases such as Nipah virus and hantavirus
- Epsilon toxin of Clostridium perfringens
- Escherichia coli O157:H7 (E. coli)
F
- Food safety threats (e.g., Salmonella species, Escherichia coli O157:H7, Shigella)
- Francisella tularensis (tularemia)
G
L
M
P
- Plague (Yersinia pestis)
- Psittacosis (Chlamydia psittaci)
Q
R
- Ricin toxin from Ricinus communis (castor beans)
- Rickettsia prowazekii (typhus fever)
S
- Salmonella species (salmonellosis)
- Salmonella Typhi (typhoid fever)
- Salmonellosis (Salmonella species)
- Shigella (shigellosis)
- Shigellosis (Shigella)
- Smallpox (variola major)
- Staphylococcal enterotoxin B
T
- Tularemia (Francisella tularensis)
- Typhoid fever (Salmonella Typhi)
- Typhus fever (Rickettsia prowazekii)
V
- Variola major (smallpox)
- Vibrio cholerae (cholera)
- Viral encephalitis (alphaviruses [e.g., Venezuelan equine encephalitis, eastern equine encephalitis, western equine encephalitis])
- Viral hemorrhagic fevers (filoviruses [e.g., Ebola, Marburg] and arenaviruses [e.g., Lassa, Machupo])
W
- Water safety threats (e.g., Vibrio cholerae, Cryptosporidium parvum)
Y
(Sumber: Kompas.com / Nationalgeographic.co.id / wikipedia / cdc.gov / berbagai sumber / editor: IndoCropCircles)
No comments:
Post a Comment